Selasa, 08 April 2008

Kemana Pengamen Kreatif Itu?

Waktu itu seperti kebanyakan mahasiswa pas-pasan lainnya, saya selalu pulang kuliah dengan bis kota. Masa itu pertengahan 90-an. Soeharto sedang kuat-kuatnya, Grunge sedang jaya-jayanya. Rambut gondrong sebahu dan baju flanel kotak-kotak jadi pakaian wajib remaja. Saya masih buta politik, yang saya tahu hanya Nirvana, Soundgarden dan kuliah.Z aman itu, setiap pukul 15.00 saya selalu menunggu bis P 67 tingkat di halte Panin Bank Sudirman untuk pulang kuliah. Saya bersama-teman-teman yang satu tujuan selalu berlomba untuk masuk ke bis dan mencari tempat duduk dekat jendela di lantai 2 bis tingkat itu. Tak seperti kebanyakan bis kota lainnya, bis tingkat punya daya angkut penumpangnya lebih banyak ketimbang bis kota lainnya, sehingga jarang sekali kita harus berdiri bahkan berhimpit-himpitan di bis itu. Entah mengapa pemda DKI Jakarta tak meremajakan bis tingkat itu. Setiap hari juga saya menyediakan recehan khusus untuk pengamen. Saya menganggap mengamen adalah satu mata pencaharian terpandang, karena itu adalah salah satu cara termudah bagi seniman untuk menjual keahlian bermusiknya. Selama perjalanan menuju pulang, para seniman jalanan berambut gondrong itu pun bergantian masuk ke dalam bis menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals, Doel Sumbang, Kebyar-kebyarnya Gombloh, bahkan tak jarang mereka menyanyikan lagu karangan mereka sendiri. Saya pun selalu menikmati hiburan di dalam bis kota itu, rasanya tak sia-sia saya mengeluarkan recehan untuki mereka. Itu sebuah penghargaan buat mereka yang sudah menghibur saya dan penumpang-penumpang lainnya. Seniman-seniman jalanan itupun terlihat serius mengamen. Mereka membawa ketipung, gitar dan yang utama adalah mereka membawa skill mereka dalam bermusik yang tak asal jadi. Selain pengamen bermusik, ada juga pengamen puisi yang populer pada akhir 90-an. Tingkah polah pengamen puisi ini tak jarang membuat saya tersenyum,"Mereka urat malunya sudah hilang kali yah", begitu ujar saya dalam hati setiap melihat pengamen puisi. Bayangkan bagaimana kita harus mengumpulkan keberanian untuk membaca puisi sembari berteriak-teriak di dalam bis, bahkan pernah saya lihat ada pengamen puisi yang sampai berguling-guling di lantai KRL Jabotabek . Bagi saya, itu sungguh tugas yang berat untuk melawan diri sendiri agar berani tampil di dalam bis yang penuh sesak dengan manusia yang isi otaknya bermacam-macam. Bagi saya pengamen zaman itu adalah "real" seniman jalanan.

Tapi kini, saya tak tahu kemana mereka, atau kemana generasi penerus pengamen-pengamen "serius" itu. Sekarang yang saya lihat para pengamen tak lebih dari sekumpulan anak muda pemadat yang tak punya ketrampilan bermusik, mencoba memalak setiap orang dengan cara mengganggu ketentraman orang di dalam bis dan di warung-warung makan. Dengan tampang intimidatif mereka bernyanyi dengan suara sumbang dan diiringi dengan suara gitar yang tak disetem. Menunggu orang cepat-cepat mengeluarkan duit agar mereka segera pergi. Bagi saya, tak ada lagi keinginan untuk mendengarkan musik dari pengamen sekarang. Lagunya itu-itu saja, cuma lagu cinta kacangan yang dinyanyikan dengan tak keruan.Bahkan tak jarang ada aroma alkohol yang keluar dari mulut mereka ketika bernyanyi. Saya tahu itu salah satu cara mereka mengintimidasi orang agar segera mengeluarkan recehan untuk mereka. Pengamen atau pemalak yah?, tak jelas. Yang jelas tampaknya mereka sudah bukan menjual suara lagi. Ini ibarat mengemis atau memalak orang dengan menggunakan gitar.



-Rezki Hasibuan-

Birokrat Larang Musik Keras, Takut Anak Muda Kritis?

Minggu pagi itu mata saya tertuju pada headline koran Pos Kota. Judulnya "Gubernur Jawa Barat Larang Musik Underground". Judul koran itu cukup menarik bagi saya, hingga saya beli koran itu. Reaksi saya geli bercampur prihatin atas pemberitaan itu. Geli, dengan beberapa kalimat yang dituliskan wartawan itu, seperti idiom Underground yang disalah artikan sebagai musik keras, padahal Underground adalah gerakan bermusik melalui lebel-label kecil , atau dengan ethos Do It yourself (DIY). Geli dengan beberapa kalimat si wartawan yang memasukkan opininya dengan mengatakan penggemar musik Underground berdandan mengerikan, karena bagis ebagian orang dandanan kaum pecinta musik keras itu biasa biasa saja. Tetapi kemudian saya prihatin dengan kebijakan pemerintah Jawa Barat yang mengkebiri ekspresi bermusik dengan melarang pengelola gedung menampilkan panggung musik "Underground". Karena pemerintah Jawa Barat membuat keputusan sepihak dengan anggapan musik keraslah yang membawa maut. Padahal tidak!. Tragedi konser "Beside" pekan lalu sebenarnya pengulangan dari tragedi yang sama pada konser "Ungu" setahun lampau. Artinya, bukan musik yang harus dituding sebagai penyebab tragedi tewasnya penonton pada kedua konser itu. Tetapi, kesalahan event organizer yang hanya memikirkan keuntungan tanpa peduli dengan hak penonton. Bayangkan, kapasitas gedung AACC yang hanya 600 orang, tapi EO menyediakan tiket 4000 lembar. Konser Inul si "Ratu Ngebor" sekalipun kalau diadakan di AACC dengan cara begitu,pasti bakal menimbulkan tragedi serupa. Apa yang ada di kepala gubernur Jawa Barat Danny Setiawan hingga mengeluarkan larangan yang menghambat ekspresi kaum musik keras di Jawa Barat?. apalagi produktivitas kaum musik keras di Bandung cukup tinggi. Dimana nanti mereka akan manggung, dimana nanti mereka akan berekspresi kalau pemerintahnya represif begitu?.

Pikiran saya kemudian tertuju kepada sepotong kalimat di Pos Kota yang mengatakan musik "Underground" akrab dengan kerusuhan dan minuman keras. Bukankah musik dangdut dan ajep-ajepnya House Music di diskotik juga begitu?. Bahkan kaum clubers disebut-sebut akrab dengan narkotika jenis ekstasi dan heroin. Sementara anak-anak Metal dan Punk itu paling hanya akrab dengan Anggur Cap Orang Tua. Bagi mereka lebih baik membuang uang untuk membuat musik ketimbang beli obat-obatan mahal seperti ekstasi apalagi putauw. Saya bicara seperti ini karena saya pernah menjadi bagian dari mereka, bahkan hingga kini saya masih mendengarkan Slayer, Kreator dan Megadeth di Mp3 Player saya. Saya kemudian menduga , bukan kerusuhan dan minuman kerasnya yang mereka takutkan, tapi anak-anak Metal dan anak-anak Punk ini memang bibit–bibit kaum kritis yang sudah mulai mengkespresikan pemberontakan mereka akan pemerintah dan nilai-nilai hipokrit kaum birokrat melalui lagu. Ini bukan mengada-ada, pada 1998 saya pernah nyebur ke komunitas Jakarta Punk. Usai Soeharto jatuh saya menobatkan diri sebagai Punkers.. Saya ambil keputusan itu setelah saya ngeband bareng Wendi Putranto di band yang bernama "Genius Crime". Lirik-lirik kritis lagu band Punk Amerika "Bad Religion" yang sering kita bawa membawa saya kepada keputusan ,"jika kamu mau menyatukan politik dan musik, you have to be a punkers". Puja puji saya kepada Grunge, Hair Metal, Jimmi Hendrix dan Jimmy Page saya tinggalkan dulu. Gantinya saya penuhi isi otak saya dengan musik musik tiga jurus tapi punya lirik yang kritis seperti "Bad Religion" itu. Seiring dengan itu saya malah semakin gila-gilaan "turun ke jalan" meneriakkan yel yel Anti Orde Baru, dan Anti Habibie. Bahkan semakin aktif di organiasasi dan pers mahasiswa. I become a real rebellion!. Saya pun kemudian bersama dengan teman-teman saya termasuk sang pencetus Brainwashed Fanzine , Wendi Putranto yang kini menjadi jurnalis Rolling Stone meluncurkan Brainwahed Fanzine Vol .7, majalah musik keras yang mencampur adukkan politik dan musik. Disamping itu saya juga semakin tertarik membedah lirik –lirik musik keras dan hey!, lirik musik Metal juga begitu, Pantera, Anthrax dan Megadeth juga sering membicarakan kritik sosial dan lirik lirik cercaan terhadap kaum birokrat.

Oleh karena itu saya yakin keputusan pemerintah Jawa Barat untuk melarang panggung musik keras punya tendensi politik. Mereka ingin menumpulkan daya kritis anak-anak muda. Karena yang saya tahu sedikit sekali anak muda yang kritis karena doyan baca buku, tapi saya punya asumsi banyak anak muda yang menjadi kritis melalui jalan seperti yang pernah saya lakoni dulu. Mungkin hal ini dianggap ancaman bagi kaum birokrat sehingga mereka merasa perlu melarang panggungh-panggung musik keras yang mungkin diangap sebagai konsolidasi anak muda kritis. Mungkin nyaris tidak kelihatan maksud-maksud seperti itu. Tapi ini sama saja dengan sikap pemerintah yang mencoba kembali memenjarakan wartawan pada RUU Kebebasan Informasi Publik (KIP). Artinya, birokrat sudah punya maksud memenjarakan kebebasan seseorang berkreasi. kalau kata Wiji Thukul tak ada kata lain selain LAWAN!!. LAWAN PENINDASAN!! . LAWAN BIROKRAT BUSUK!!. AYO PERJUANGKAN KEBEBASAN KITA BERKEPRESI!! .


*Jurnalis KBR68H, pecinta musik keras

Birokrat Larang Musik Keras, Takut Anak Muda Kritis?

Minggu pagi itu mata saya tertuju pada headline koran Pos Kota. Judulnya "Gubernur Jawa Barat Larang Musik Underground". Judul koran itu cukup menarik bagi saya, hingga saya beli koran itu. Reaksi saya geli bercampur prihatin atas pemberitaan itu. Geli, dengan beberapa kalimat yang dituliskan wartawan itu, seperti idiom Underground yang disalah artikan sebagai musik keras, padahal Underground adalah gerakan bermusik melalui lebel-label kecil , atau dengan ethos Do It yourself (DIY). Geli dengan beberapa kalimat si wartawan yang memasukkan opininya dengan mengatakan penggemar musik Underground berdandan mengerikan, karena bagis ebagian orang dandanan kaum pecinta musik keras itu biasa biasa saja. Tetapi kemudian saya prihatin dengan kebijakan pemerintah Jawa Barat yang mengkebiri ekspresi bermusik dengan melarang pengelola gedung menampilkan panggung musik "Underground". Karena pemerintah Jawa Barat membuat keputusan sepihak dengan anggapan musik keraslah yang membawa maut. Padahal tidak!. Tragedi konser "Beside" pekan lalu sebenarnya pengulangan dari tragedi yang sama pada konser "Ungu" setahun lampau. Artinya, bukan musik yang harus dituding sebagai penyebab tragedi tewasnya penonton pada kedua konser itu. Tetapi, kesalahan event organizer yang hanya memikirkan keuntungan tanpa peduli dengan hak penonton. Bayangkan, kapasitas gedung AACC yang hanya 600 orang, tapi EO menyediakan tiket 4000 lembar. Konser Inul si "Ratu Ngebor" sekalipun kalau diadakan di AACC dengan cara begitu,pasti bakal menimbulkan tragedi serupa. Apa yang ada di kepala gubernur Jawa Barat Danny Setiawan hingga mengeluarkan larangan yang menghambat ekspresi kaum musik keras di Jawa Barat?. apalagi produktivitas kaum musik keras di Bandung cukup tinggi. Dimana nanti mereka akan manggung, dimana nanti mereka akan berekspresi kalau pemerintahnya represif begitu?.

Pikiran saya kemudian tertuju kepada sepotong kalimat di Pos Kota yang mengatakan musik "Underground" akrab dengan kerusuhan dan minuman keras. Bukankah musik dangdut dan ajep-ajepnya House Music di diskotik juga begitu?. Bahkan kaum clubers disebut-sebut akrab dengan narkotika jenis ekstasi dan heroin. Sementara anak-anak Metal dan Punk itu paling hanya akrab dengan Anggur Cap Orang Tua. Bagi mereka lebih baik membuang uang untuk membuat musik ketimbang beli obat-obatan mahal seperti ekstasi apalagi putauw. Saya bicara seperti ini karena saya pernah menjadi bagian dari mereka, bahkan hingga kini saya masih mendengarkan Slayer, Kreator dan Megadeth di Mp3 Player saya. Saya kemudian menduga , bukan kerusuhan dan minuman kerasnya yang mereka takutkan, tapi anak-anak Metal dan anak-anak Punk ini memang bibit–bibit kaum kritis yang sudah mulai mengkespresikan pemberontakan mereka akan pemerintah dan nilai-nilai hipokrit kaum birokrat melalui lagu. Ini bukan mengada-ada, pada 1998 saya pernah nyebur ke komunitas Jakarta Punk. Usai Soeharto jatuh saya menobatkan diri sebagai Punkers.. Saya ambil keputusan itu setelah saya ngeband bareng Wendi Putranto di band yang bernama "Genius Crime". Lirik-lirik kritis lagu band Punk Amerika "Bad Religion" yang sering kita bawa membawa saya kepada keputusan ,"jika kamu mau menyatukan politik dan musik, you have to be a punkers". Puja puji saya kepada Grunge, Hair Metal, Jimmi Hendrix dan Jimmy Page saya tinggalkan dulu. Gantinya saya penuhi isi otak saya dengan musik musik tiga jurus tapi punya lirik yang kritis seperti "Bad Religion" itu. Seiring dengan itu saya malah semakin gila-gilaan "turun ke jalan" meneriakkan yel yel Anti Orde Baru, dan Anti Habibie. Bahkan semakin aktif di organiasasi dan pers mahasiswa. I become a real rebellion!. Saya pun kemudian bersama dengan teman-teman saya termasuk sang pencetus Brainwashed Fanzine , Wendi Putranto yang kini menjadi jurnalis Rolling Stone meluncurkan Brainwahed Fanzine Vol .7, majalah musik keras yang mencampur adukkan politik dan musik. Disamping itu saya juga semakin tertarik membedah lirik –lirik musik keras dan hey!, lirik musik Metal juga begitu, Pantera, Anthrax dan Megadeth juga sering membicarakan kritik sosial dan lirik lirik cercaan terhadap kaum birokrat.

Oleh karena itu saya yakin keputusan pemerintah Jawa Barat untuk melarang panggung musik keras punya tendensi politik. Mereka ingin menumpulkan daya kritis anak-anak muda. Karena yang saya tahu sedikit sekali anak muda yang kritis karena doyan baca buku, tapi saya punya asumsi banyak anak muda yang menjadi kritis melalui jalan seperti yang pernah saya lakoni dulu. Mungkin hal ini dianggap ancaman bagi kaum birokrat sehingga mereka merasa perlu melarang panggungh-panggung musik keras yang mungkin diangap sebagai konsolidasi anak muda kritis. Mungkin nyaris tidak kelihatan maksud-maksud seperti itu. Tapi ini sama saja dengan sikap pemerintah yang mencoba kembali memenjarakan wartawan pada RUU Kebebasan Informasi Publik (KIP). Artinya, birokrat sudah punya maksud memenjarakan kebebasan seseorang berkreasi. kalau kata Wiji Thukul tak ada kata lain selain LAWAN!!. LAWAN PENINDASAN!! . LAWAN BIROKRAT BUSUK!!. AYO PERJUANGKAN KEBEBASAN KITA BERKEPRESI!! .


*Jurnalis KBR68H, pecinta musik keras